Kamis, 17 Maret 2011

Semula Gudang, Kemudian Masjid Keramat


Mentari membakar kulit. Panas. Aspal hitam menyemburkan fatamorgana sehingga membuat pengguna jalan sulit memandang ke depan. Meski demikian tak menyurutkan semangat kami untuk mengunjungi masjid Jamik Syaikhuna di gampong Ujong Pasi, kecamatan Kuala, Nagan Raya yang konon katanya keramat.



Hari kedua Idul Adha 1431 H itu, saya bersama dua rekan, Firman dan Edi bergerak dari kecamatan Samatiga, Meulaboh dengan mengendarai sepeda motor. Kami menempuh jalur lintas Meulaboh-Nagan Raya yang terdapat lubang menganga di badan jalan terkadang. Ketika terik kian perih terasa, kami rehat sejenak di masjid As-Syura, kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat seiring masuknya waktu salat dhuhur.

Usai menunaikan rukun islam kedua itu, pula menghimpun kembali tenaga, kami melanjutkan perjalanan. Setelah menempuh lebih kurang 30 kilo meter, kami tiba di gampong Ujong Pasi.

Ramai. Inilah kesan pertama saat memasuki masjid Jamik Syaikhuna. Bejibun orang sudah lebih dulu mendatangi masjid ini siang itu. Mereka berasal dari berbagai daerah di Aceh, sesuai hasil wawancara saya terhadap sejumlah pengunjung.

Lalu kami celingak-celinguk mencari seorang yang bisa menjelaskan sejarah singkat masjid ini. Kami bingung. Pun langit yang tadinya cerah dengan cepat berubah gelap. Lekas gemuruh terdengar dari arah timur. Maka kami bergegas meneduh diri di tangga masjid. Hujan deras pun melejit, menyirami bumi. Kian lama kian lebat.

Lepas 15 menit duduk termangu di tangga, saya memperhatikan seorang kakek yang duduk bersandar pada tiang paling sudut di teras masjid berlantai dua ini. Sepertinya lelaki tua itu mengetahui sejarah masjid yang oleh pengunjung gemar menyebutnya “Masjid Gudang Buloh.” Lalu kami menghampirinya.

“Assalamualaikum,” sapa saya.

“Waalaikum salam,” sahut kakek itu.

Peu haba Yahwa (Apa kabar Kakek)”

Haba get, Neuk (Kabar baik, Nak).”

Kami duduk di hadapan Teungku Lot, begitu lelaki tua itu sering disapa. Ia putra asli gampong Ujong Pasi, kelahiran 1930 silam. Sekujur wajahnya jelas terlihat keriputan. Teungku, sebutan orang Aceh untuk ustadz.

Menurut Teungku Lot, masjid ini dibangun sekitar tahun 1880 oleh Teungku Putik. Teungku Lot menceritakan, usai Teungku Putik mendirikan masjid, ia dipermasalahkan oleh tentara Belanda. Lalu beliau ditangkap dan diasingkan ke pulau Jawa. Tak lama, Teungku Putik pun meninggal di sana dan dikuburkan di sana jua.

Masjid nyoe na keuh masjid yang paleng awai di Nagan (Masjid ini merupakan masjid yang pertama di Nagan),” ujarnya, dengan logat sebagaimana orang biasanya berbicara di usia senja.

Sebelum masjid yang dominan dengan warna putih dan kuning keemasan ini didirikan, kata Teungku Lot, dulunya di sini hanyalah sebuah gudang perkakas para pekerja pembuatan jalan. Gudang itu terbuat dari buloh (bambu kuning). Makaya gudang itu dinamai gudang buloh.

Dengan tampang serius, kakek itu melanjutkan ceritanya. Setelah proyek pembangunan jalan selesai, gudang itu dibongkar lalu dibangun sebuah masjid. Karena bertempat di bekas gudang buloh, masjid itu pun dinamai “Masjid Gudang Buloh”. Tapi masyarakat setempat kemudian memberikan nama sebagaimana masjid lain di Aceh pada umumnya, yaitu dengan nama “Masjid Jamik Syaikhuna”. Alasan penamaan Syaikhuna, ialah untuk mengenang jasa guru-guru masyarakat setempat. Dalam bahasa Arab, “syaikhuna” bermakna guru kami.

Hujan mulai reda. Para pengunjung yang ingin melepaskan nazarnya di masjid keramat ini kembali berdatangan. Satu per satu mereka menghampiri Teungku Khaddam yang sedang duduk di tiang depan sebelah kanan masjid. Teungku Khaddam, sebutan untuk penjaga masjid sekaligus mediator bagi pelepas nazar.



Asma, seorang warga desa tetangga mengatakan, tiang yang diduduki lelaki Teungku Khaddam adalah tiang keramat. Di mana dalam tiang itu berisikan tiang lama yang terbuat dari kayu keuneubah (pusaka) ulama.

Kian lama kian banyak pengunjung berdatangan. Bermacam-macam makanan dibawa mereka ke masjid keramat ini.

Yahwa, pakon masjid nyoe jeut keuramat? Seujak pajan? (Kakek, mengapa masjid ini bisa keramat? Sejak kapan?)” Tanya saya pada Teungku Lot.

Nyan keuh rahmat Allah hai Neuk. Allah neubri keuramat bak masjid nyoe. Alhamdulillah ureung-ureung yang meukaoi bak masjid nyoe geutrimong kaoi gobnyan lee Allah Taala (Itulah rahmat Allah, Nak. Allah telah memberikan keramat kepada masjid ini. Alhamdulillah orang-orang yang bernazar di masjid ini doanya dikabulkan Allah).”

Teungku Lot menambahkan, sedari pertama didirikan, masjid yang memiliki lima kubah kecil ini memang sudah keramat. Katanya lagi, kekeramatan masjid ini semakin diketahui orang-orang seantero bahkan luar Aceh sejak 1980.

Langit mulai ceria kembali. Kami pun berpamitan pada Teungku Lot. 



Telah dimuat di ACEHJURNAL.com rubrik feature.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar