Sabtu, 21 Desember 2013

Mereka Telah Pergi Bersama Ombak

Sumber foto: http://tsun.sscc.ru
Minggu, cuaca begitu cerah. Matahari mulai meninggi seukuran galah. Kicauan burung terdengar merdu memecahkan keheningan pagi. Ayam-ayam berkotek di kandangnya, menunggu mak datang memberi umpan. Ayah duduk di dekat meja di pojok dapur panggung. Ia memandang ke arah sawah melalui jendela. Mak duduk di dekat tungku kayu bakar sambil menghembus api. Sesekali ia menyeruput kopi panas yang ada di depannya.


Aku berjalan-jalan di samping rumah sambil menghirup udara pagi. Bersama kakak dan adik perempuanku. Kami berlari pelan di pematangan sawah depan rumah. Burung pipit mulai hinggap di tangkai padi. Dua, tiga, lima, dan seterusnya, turun memetik buah padi muda. Aku mencoba mengusirnya, tapi kakak mencegahku. “Biarkan burung-burung itu mengambil sedikit dari rezeki yang dititipkan Allah kepada kita. Kasihan burung-burung itu, dia juga makhluk, dia juga butuh makan,” kakak memberi pencerahan kepadaku.

Tapi aku tak tega melihat padi yang mulai menguning tersebut dijamah oleh burung. Di belakang kakak, aku melempar kerumunan burung agar ia pindah ke tempat lain. Aku senang melihat kerumunan burung terbang dari tangkai-tangkai padi muda. Walaupun mereka merepet dengan bahasa burung, aku biarkan saja, karena sungguh aku tak mengerti.


Kakak memberi isyarat kepadaku tuk kembali ke rumah. Ia mengajakku dan Yana, adik perempuanku tuk sarapan dulu. Kami menuruti isyaratnya. Kakak jalan di depan, Yana di tengah dan aku di belakang. “Hati-hati, jangan sampai terpeleset ke sawah,” kata kakak mengingatkan kami.

Sesaat kemudian kami sampai di rumah. Kakak naik duluan ke rumah dapur. Dengan sangat hati-hati ia menginjak anak tangga yang sudah mulai lapuk. Aku dan Yana mengikutinya, dan tentu juga dengan sangat hati-hati.

Dalam hitungan menit tiba-tiba dapur panggung kami bergoyang dengan dahsyat. Air dalam ember tupah membasahi lantai kayu rumah kami.

"Laailahaillallah... Lailahaillallah... Lailahaillallah...," mak dan ayah berucap. “Gempa nak,” mak memberitahu kami. Aku dan kakak juga berucap, “Laailaahaillallah… .” Yana yang masih berumur tujuh tahun hanya terdiam ketakutan. Ia memeluk mak dan menatap kami semua, tak sepatah kata pun yang dapat ia ucapkan.

Ketika gempa reda, kami sekeluarga turun dari dapur panggung. Sebuah berita terdengar dari Cek Man, warga kampungku, "Jalan raya di depan rumah Pak Yahya longsor, di sana keluar air yang memancar ke langit."

Karena penasaran, kami langsung menuju kesana untuk membuktikannya. Ayah mengambil motor bututnya, lansung tancap gas. Aku, mak, kakak dan Yana juga tak mau ketinggalan, kami juga menyusul ayah walaupun dengan berjalan kaki.

Ternyata benar, di perbatasan kecamatan Johan Pahlawan dengan Samatiga jalan longsor sekitar 50 meter. Tugu perbatasan yang menancap tinggi sudah hampir tumbang, seakan ia mau sujud. Padi yang sedang menguning hilang ditelan lumpur. Rumah-rumah permanen di sekitar tugu juga ikut tenggelam lebih satu meter. Pohon kelapa tumbang menutupi badan jalan. Sebuah truk roda enam terperangkap antara longsoran jalan.

"Nyoe nakeuh bala geumpa yang paleng rayeuk yang golom pernah terjadi di daerah geutanyoe (ini adalah sebuah gempa besar yang belum pernah terjadi di daerah kita),” kata seorang warga.

Aku sempat berpikir, "Besok pasti tidak sekolah, karena jalan penghubung Meulaboh-Suak Timah telah putus total akibat gempa, jadi guru-guru tidak bisa datang."

Dari jarak seratus meter, aku melihat kawan-kawan asyik minum air kelapa yang tumbang ke badan jalan. Benakku berniat untuk ikut serta dengan mereka. Tidak ada parang ataupun pisau di sana untuk mengupas kelapa. Kami hanya membantingnya ke aspal dan meminumnya dari celah-celah kulit yang pecah. “Seru juga dalam keadaan darurat seperti ini,” batinku.

Sesaat kemudian, orang-orang berdiri di sepanjang jalan menghadap ke laut. Ada gunungan besar disana. Hitam pekat. Gunungan itu terus meninggi dan terus mendekat ke arah kami. Tak seorang pun yang mengerti pada saat itu. Tidak satu pun yang menyangka bahwa gunungan tersebut akan menghantam desa. Bahkan, mereka ada yang nekat turun ke laut untuk mengutip ikan ketika air surut.

Dubraamm.. Gunungan hitam itu pecah ke perkampungan kami. Dengan cepat ia mengejar kami. "Lari... Lari... Lari..." Semua orang berteriak.

“Laailahaillallah…..” aku berucap dan terus istighfar.

Sambil berlari di pematangan sawah, aku sempat melihat ke belakang. Kuperhatikan gelombang besar dengan ganas menghancurkan perkampungan kami. Tak satu pun yang tersisa, semuanya runtuh dibawa air. Mungkin ini sudah kiamat, batinku berbisik.

Dalam gulungan gelombang ganas aku terus istighfar. Gelap. Bersama tumpukan sampah-sampah puing bangunan aku melaju kemana arah gelombang menuju. Tanpa sengaja aku terminum seteguk air ganas yang menjadi kendaraan kami saat itu. Sungguh luar biasa, dalam hitungan menit aku telah melaju ratusan meter.

Sesaat kemudian, aku terdampar di atas tumpukan pohon karet. Alhamdulillah, aku berusaha naik ke atas tumpukan tersebut. Nampak permandangan yang sangat luar biasa. La haula wala quwwata illa billah… tak ada satu pun yang tersisa, semua telah berubah menjadi lautan luas. Sungguh Allah mahakuasa.

Dari tumpukan kayu yang tinggi, aku melihat orang-orang yang masih selamat. Aku menghampirinya dan kami berkumpul di atas tumpukan puing. Aku melihat beberapa jenazah yang telah berpulang ke rahmatullah.

Hari mulai meranjak siang, kami sepakat untuk pergi ke tempat yang lebih aman. Kami berangkat ke jalan baru di tengah-tengah kebun karet. Disana aku bermalam, bersama orang-orang yang senasib denganku. Lantunan doa dan ayat Al-Quran terus terdengar sepanjang malam. Orang-orang berharap keluarganya selamat dan dapat berjumpa kembali.

Aku duduk di bawah cahaya bintang, bersama mereka yang selamat. Tak hentinya doa terucap. Besar harapan tuk bisa jumpa dengan orang tua dan orang-orang tersayang. Mereka telah pergi bersama gelombang besar yang melanda kampungku.

Hingga saat ini, tak ada kabar tentang mereka. Aku rindu ibu, kakak, dan Yana. Aku rindu tuk menghabiskan sisa umurku dengan mereka. Namun, semuanya sudah ditakdirkan Allah. Inilah yang terbaik untukku dan juga untuk mereka. Hanya doa yang dapat ku panjatkan bersama ayah tercinta. Semoga mereka selamat iman dan pergi dengan tenang bersama para syuhada.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar