Rabu, 23 Oktober 2013

Panorama di Puncak Geurute




Permandangan dari puncak Geurute (dok. Me)
Geurute, memang sejuk jika dipandang. Gunung yang terletak di perbatasan Aceh besar dengan Aceh Jaya ini menyimpan berjuta kisah dan peristiwa. Selain itu, gunung yang hampir seratus persen terdiri dari bebatuan ini memiliki kekayaan yang begitu besar.

Udara mulai terasa sejuk saat kami mulai mendaki pengunungan Geurute. Tebing batu yang tinggi puluhan meter menemani kami sepanjang jalan pengunungan tersebut. Pohon-pohon besar berjejer di sisi jalan. Jurang yang terjal ditambah tikungan yang berliku-liku membuat kami harus berhati-hati melaluinya. Suara kumbang kayu hutan memecahkan keheningan. Deru mesin kendaraan memecah sepinya hutan. Monyet-monyet duduk berjejeran di sepanjang pembatas jalan, menunggu makanan sisa dari pengendara. 

Dari ketinggian Geurute, kami dapat menyaksikan permandangan Samudera Hindia yang memukau. Pecahan ombak yang menghantam tebing batu dan perpohonan yang hijau membentang membuat suasana semakin sejuk. Alami. Pondok-pondok tempat peuniyoh berdiri berderetan di pinggil tebing puncak Geurute. 

Kami yang berangkat dari Banda Aceh, singgah di pondok Panorama Indah Puncak Geurute, di tempat peuniyoh Kak Nur untuk sekedar melepaskan lelah. Saya, Nasir, Adil, Rama, dan Maidyan duduk menghadap laut. Ada dua pulau di sana. Ujong Sudeung nama pulai kecil tersebut, begitu kata pemilik warung.

Pulau Ujong Sudeung (Dok. Me)

Setelah meningmati teh dingin, saya, Maidyan, dan Adil naik ke puncak yang lebih tinggi. Melalui tangga sebelah kiri jalan (dari arah Banda Aceh) kami menuju ke atas. Dari atas sana kami dapat melihat hamparan samudera yang luas. Begitu juga dua pulau kecil nampak jelas. 

Di atas puncak juga terdapat sisa pos penjagaan TNI di masa konflik Aceh. Bekas bangunan masih terlihat jelas di sana. Walaupun sedikit terasa angker, manun tempat ini tak luput dari pengunjung yang singgah di puncak Geurute. 

Kami mencoba mendaki lebih tinggi lagi, sekitar 50 meter dari bekas pos penjagaan. Di sana suasana benar-benar alami. Hawa dingin menusuk tulang. Suara kumbang membuat kami merinding. Kami memutuskan turun saja daripada memberanikan diri tanpa pengawalan penduduk setempat.

Dalam rimba, puncak Geurute, sekitar 50 meter dari bekas pos militer

Siamang, penghuni Geurute berbadan gelap

Keluarga Siamang (Dok. Me)
Di warung samping tempat kami singgah, siang itu kedatangan tamu. Berbadan hitam, kelam. Orang-orang disana menyebutnya siamang, binatang penghuni gunung Gerute. Ia menghampiri hampir semua orang tuk meminta makanan. Tak peduli anak muda, anak dara, kakek-kakek, bahkan nenek-nenek, semua dijadikan teman oleh dia. 
Menurut pemilik warung, Siamang tersebut sudah turun Sejak delapan tahun yang lalu, pascatsunami melanda Aceh. Pertama kali, hanya yang jantan turun menghampiri orang-orang disana. Merasa disambut baik oleh pemilik warung, beberapa hari kemudian barulah siamang jantan membawa yang betina. Kemudian terus berkembang biak, hingga sekarang sudah lima ekor.

“Sekarang sudah 5 ekor siamang yang turun kemari, tapi satunya sudah hilang. Hanya tersisa empat saja,” kata pemilik warung.

Ia mengingatkan kepada kami bahwa ketika didekati oleh siamang, kita jangan lari, jangan meronta, buat dia merasa nyaman bersama kita agar tidak digigit. Satu lagi, mungkin dia akan marah jika kita pegang-pegang kepalanya, maka hati-hatilah.

Jika kawan-kawan ingin jumpa dengan siamang di puncak Geurute, pergilah di waktu yang tepat. pagi sekitar pukul 08 s/d 10, siang antara pukul 12 s/d 14, dan sore antara pukul 16 s/d 18. Mari menikmati panorama indah puncak Geurute. Semoga berjumpa Siamang, penghuni Geurute berbadan gelap. 

Siamang jantan duduk di tempat tidur pemilik warung (Dok. Me)

Saya bersama Siamang

6 komentar: