Senin, 14 November 2011

Jam Karet

jam karet
Ilustrasi
Pagi Minggu sekitar pukul setengah sembilan, Nurdin bergegas pergi menuju kampus. “Hari ini ada rapat mahasiswa, saya harus buru-buru,”  kata Nurdin kepada Bang Basyah. Ia juga memberi tahu bahwa ia mendapatkan sms dari panitia bahwa acaranya jam 8.30 wib. Karena takut telat, Nurdin hanya meneguk segelas air putih, lalu berangkat dengan menunggang sepeda motornya.

Ketika Nurdin tiba di kampus, ia tidak melihat seorang pun rekannya yang akan mengikuti rapat di halaman gedung. Nurdin memarkirkan sepeda motornya di bawah pohon Kupula. Kemudian langsung menuju aula – tempat dimana rapat digelar. “Pasti saya telat, sementara kawan-kawan saya telah duluan masuk kedalam ruangan. Pasti mereka sudah mulai rapatnya,” pikir Nurdin dalam hati.


Kemudian tanpa pikir panjang Nurdin langsung melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung. ia melewati tangga dengan cepat, seakan ada yang mengejarnya dari belakang. Akhirnya sampai ke lantai tiga, ruang dimana rapat akan digelar. Ketika masuk ke dalam, ruangan kosong menyambut salamnya. tak ada seorang pun anggota rapat yang ada di ruangan, termasuk panitia yang mengirim sms kepadanya kemarin malam.

Nurdin duduk menunggu rekannya beberapa saat  di ruangan. Setelah 15 menit menunggu, hanya 4 orang peserta yang bertambah, termasuk seorang panitia. Baru setelah 30 menit menunggu, peserta yang hadir mencapai 15 orang lebih dari 100 peserta yang terdaftar di absensi rapat mahasiswa tersebut.

“Ternyata jam karet masih juga berlaku pada diri orang Aceh, mungkin ini sudan menjadi ‘budaya’ yang sulit dihilangkan,” kata kata seorang peserta kepada Nurdin. “Yang membuat peraturan pun bisa melenceng dari jadwal yang ditetapkan, bagaimana dengan orang yang hanya mengikutinya?” tambah seorang peserta lain.

Ternyata diskusi masalah keterlambatan waktu menjadi topik pembicaraan utama hari itu. Pasalnya, acara yang dijanjikan meleset sampai dua jam setengah lebih, janji jam 8.30 baru mulai jam 11 lewat. Dalam diskusi terbuka antar peserta, ada yang mengatakan, “Bagaimana Aceh bisa maju kalau begini. Lembaga mahasiswa saja bisa tidak tepat waktu, bagaimana bisa membawa perubahan bagi masyarakat. Seharusnya sebagai agent of change, mahasiswa Aceh khususnya harus menghilangkan budaya jam karet yang masih melekat pada dirinya.” Kata rekan lainnya.

“Intinya sekarang kita harus mencoba menghilangkan budaya tersebut mulai dari kesadaran diri sendiri, kemudian kepada orang terdekat dan akhirnya sampai kepada pemimpin-pemimpin kita yang masih ‘mengenakan’ jam karet ‘di tangan’ kekuasaannya. Sehingga mereka bisa tepat waktu ketika berjanji.” Kata Nurdin kepada kawan-kawannya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar