Permandangan dari puncak Geurute (dok. Me) |
Udara mulai terasa sejuk saat kami mulai mendaki pengunungan Geurute. Tebing
batu yang tinggi puluhan meter menemani kami sepanjang jalan pengunungan
tersebut. Pohon-pohon besar berjejer di sisi jalan. Jurang yang terjal ditambah
tikungan yang berliku-liku membuat kami harus berhati-hati melaluinya. Suara kumbang
kayu hutan memecahkan keheningan. Deru mesin kendaraan memecah sepinya
hutan. Monyet-monyet duduk berjejeran di sepanjang pembatas jalan, menunggu
makanan sisa dari pengendara.
Dari ketinggian Geurute, kami dapat menyaksikan permandangan Samudera Hindia
yang memukau. Pecahan ombak yang menghantam tebing batu dan perpohonan yang
hijau membentang membuat suasana semakin sejuk. Alami. Pondok-pondok tempat peuniyoh berdiri berderetan di pinggil
tebing puncak Geurute.
Kami yang berangkat dari Banda Aceh, singgah di pondok Panorama Indah
Puncak Geurute, di tempat peuniyoh Kak
Nur untuk sekedar melepaskan lelah. Saya, Nasir, Adil, Rama, dan Maidyan duduk
menghadap laut. Ada dua pulau di sana. Ujong Sudeung nama pulai kecil tersebut,
begitu kata pemilik warung.
Pulau Ujong Sudeung (Dok. Me) |
Setelah meningmati teh dingin, saya, Maidyan, dan Adil naik ke puncak yang
lebih tinggi. Melalui tangga sebelah kiri jalan (dari arah Banda Aceh) kami
menuju ke atas. Dari atas sana kami dapat melihat hamparan samudera yang luas. Begitu
juga dua pulau kecil nampak jelas.
Di atas puncak juga terdapat sisa pos penjagaan TNI di masa konflik Aceh. Bekas
bangunan masih terlihat jelas di sana. Walaupun sedikit terasa angker, manun
tempat ini tak luput dari pengunjung yang singgah di puncak Geurute.
Kami mencoba mendaki lebih tinggi lagi, sekitar 50 meter dari bekas pos
penjagaan. Di sana suasana benar-benar alami. Hawa dingin menusuk tulang. Suara
kumbang membuat kami merinding. Kami memutuskan turun saja daripada
memberanikan diri tanpa pengawalan penduduk setempat.
Dalam rimba, puncak Geurute, sekitar 50 meter dari bekas pos militer |
Siamang, penghuni Geurute berbadan gelap
Keluarga Siamang (Dok. Me) |
Menurut pemilik warung, Siamang tersebut sudah turun Sejak delapan tahun
yang lalu, pascatsunami melanda Aceh. Pertama kali, hanya yang jantan turun
menghampiri orang-orang disana. Merasa disambut baik oleh pemilik warung,
beberapa hari kemudian barulah siamang jantan membawa yang betina. Kemudian terus
berkembang biak, hingga sekarang sudah lima ekor.
“Sekarang sudah 5 ekor siamang yang turun kemari, tapi satunya sudah
hilang. Hanya tersisa empat saja,” kata pemilik warung.
Ia mengingatkan kepada kami bahwa ketika didekati oleh siamang, kita jangan
lari, jangan meronta, buat dia merasa nyaman bersama kita agar tidak digigit. Satu
lagi, mungkin dia akan marah jika kita pegang-pegang kepalanya, maka
hati-hatilah.
Jika kawan-kawan ingin jumpa dengan siamang di puncak Geurute, pergilah di waktu yang tepat. pagi sekitar pukul 08 s/d 10, siang antara pukul 12 s/d 14, dan sore antara pukul 16 s/d 18. Mari menikmati panorama indah puncak Geurute. Semoga berjumpa Siamang, penghuni Geurute berbadan gelap.
Siamang jantan duduk di tempat tidur pemilik warung (Dok. Me) |
Saya bersama Siamang |
sukses
BalasHapusterimakasih rakan...:D
HapusNyaan,,, deskripsinya bagus. Laporan menarik, Dayat. Lanjutkan. :D
BalasHapushehe...
Hapusterimakasih gure makmur... :D
lagak that teungku....
BalasHapusPu jih yang lagak nyan tgku?
Hapuspenghuni puncak nyoe? hehehe